Lanting Indonesia
Lanting,
makanan terbuat dari singkong, tentu sudah tidak asing lagi bagi kita.
Makanan renyah tersebut bisa didapatkan di berbagai warung, toko, dan
swalayan seantero Indonesia. Namun tahukah Anda bagaimana proses
membuatnya, di mana pusatnya, dan benarkah bisa berperan dalam
pengembangan daerah? Berikut laporan wartawan Suara Merdeka Arif
Widodo .
KEBUMEN memang terkenal sebagai pusat
jajanan lanting. Tepatnya di Desa Lemah Duwur, Kecamatan Kuwarasan. Desa
yang namanya berarti lemah (tanah) duwur (tinggi) itu merupakan sentra
perajin lanting. Meskipun namanya Lemah Duwur, daerah itu merupakan
dataran rendah. Ada lebih dari 300 kepala keluarga (KK) yang membuka
usaha lanting di desa tersebut. Di Desa Lemah Duwur terdapat 720 KK.
Saban hari geliat masyarakat desa itu tidak lepas dari mengolah singkong untuk dijadikan lanting.
Seperti Supini (45), warga Desa Lemah Duwur. Di rumahnya terdapat
tumpukan singkong yang sudah dikupas dan siap diolah. Supini mengambil
singkong dari pengepul dan petani. Harganya Rp 1.050 per kilogram.
“Setelah dikupas, singkong kemudian diparud,” imbuhnya.
Di dapur ukuran 10 meter x 7 meter itu
sudah ada alat parud yang digerakkan dengan mesin. Jadi, singkong yang
sudah dikupas dan kemudian dibersihkan itu tinggal dimasukkan saja.
Maka, langsung keluar ampas yang menumpuk. Ampas yang mengandung kadar
air itu lalu diperas. Selanjutnya masih diparud lagi. Untuk parudan
kedua itu berbeda dari yang pertama. Selain lebih halus, ampas yang
keluar juga sudah kering. Proses berikutnya dikepal-kepal, kemudian
dikukus.
Pada proses tersebut harus lebih
hati-hati. Tidak boleh ceroboh dalam menyalakan api tungkunya. Tidak
teralu besar, juga tidak terlalu redup. Yang diinginkan dalam
pengukusan adalah setengah matang. Hal itu agar pengerjaan selanjutnya
menjadi lebih mudah. Karena masih ada proses dimolen dan dimasukkan ke
dalam wadah untuk dipres. “Kami melakukannya dengan cara didongkrak,”
imbuhnya.
Semua perajin melakukan hal yang sama.
Selain di Desa Lemah Duwur, perajin lanting juga terdapat di desa
sekitarnya. Di antaranya Desa Harjo Dowo dan Madureso. Tetapi untuk
jumlah perajinnya tidak sebanyak di Lemah Duwur. “Di sini (Harjo Dowo)
baru ada 10 perajin,” kata Kusriani (34), warga Harjo Dowo.
Sejak Nenek Moyang
Sekretaris Desa Madureso, Mundiran, menambahkan, untuk perajin lanting
di desanya sekitar 50 KK. Para perajin di Desa Madureso dan di Harjo
Dowo meniru perajin Lemah Duwur. Masyarakat mengakui asal muasal lanting
dari Lemah Duwur. Sejak nenek moyang, pembuatan lanting sudah
berlangsung di desa tersebut. Hingga kemudian secara turun-temurun
berlanjut sampai sekarang. Kini perajinnya merambah ke desa
sekitarnya.
Setelah dipres hingga keluar adonan
seperti mi ukuran besar, proses berikutnya diberi bedak dari pati
(tepung singkong). Kemudian dirangkai sesuai dengan keinginan. Bentuk
lantingnya, selain seperti angka delapan, juga ada yang seperti cincin.
Pembuatan lanting dari mengupas hingga
pembungkusan itu berlangsung selama dua hari. Setiap perajin minimal
sekali mengolah 4 kuintal singkong untuk dijadikan lanting. Hasilnya
hanya mencapai 2 kuintal.
Pemasaran lanting kebanyakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Cirebon, dan Yogyakarta. Bahkan, lanting Lemah Duwur sudah menembus luar Jawa. Pesanan selalu datang dalam jumlah yang banyak. (66)
Pemasaran lanting kebanyakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Cirebon, dan Yogyakarta. Bahkan, lanting Lemah Duwur sudah menembus luar Jawa. Pesanan selalu datang dalam jumlah yang banyak. (66)
Sumber: Suara Merdeka
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking